MENELUSURI JEJAK KERAJAAN PADANGGUNI (MENGELIAT DIANTAR
YANG TERLUPAKAN
Berdasarkan tarikh masehi berdirinya kerjaaan ini,
maka tidak heran jika banyak kalangan meyakini bahwa Padangguni adalah Kerajaan
Prasejarah Tertua di Indonesia, lebih dahulu ada dibandingkan Kerajaan Kutai
yang muncul pada abad ke-4.
Pewarta-Indonesia, Jangan sekali-kali melupakan
sejarah. Itulah salah satu topik pidato Presiden pertama Republik Indonesia,
Ir. Soekarno yang amat popoler dan masih menjadi acuan politik pemerintah
maupun rakyat hingga saat ini, Jasmerah! Sejarah memang selalu jadi legenda
nyata yang akan mempengaruhi kehidupan manusia, juga perjalanan hidup suatu
bangsa. Tidak ada satupun bangsa atau negara di dunia ini yang steril dari
kisah sejarah masa lampau bangsa atau negara itu. Heroisme yang dipertontonkan
generasi masa lalu akan terefleksi dalam setiap gerak hidup generasi
penerusnya. “Nenek moyangku orang pelaut...” sebuah ungkapan nyanyian anak-anak
yang menjadi cerminan kebesaran dan kedigdayaan bangsa Indonesia di masa
lampau, yang terwariskan mempengaruhi sejarah kehidupan mayoritas masyarakat
sepanjang pantai di kepulauan Indonesia saat ini. Bangsa besar lahir dari
sejarah kebangsaan yang besar pula.
Betapa pentingnya mengetahui dan memahami sejarah
bangsa. Maka mencari, meneliti, dan menelurusi jejak hidup nenek-moyang kita
dengan segala bentuk dan struktur kehidupan masyarakatnya adalah tugas sejarah
yang mesti dilaksanakan oleh generasi masa kini dan mendatang. Kepedulian kita
tentang sejarah dan budaya nenek moyang bangsa akan memperkaya khasana
kebudayaan di tanah air yang pada gilirannya dapat berpotensi menjadi salah
satu tujuan wisata sejarah. Dengan mengetahui sejarah bangsa, kita boleh
menyadari bahwa di Indonesia ini pernah lahir lebih dari 1000 buah kerajaan,
sebuah angka fantastis yang tidak akan pernah kita jumpai di belahan dunia
lainnya. Dari penelitian kesejarahaan masyarakat tradisional di nusantara, kita
juga dapat mengetahui bahwa tata pemerintahan tradisional yang menjunjung
tinggi keberadaan aturan hukum selayaknya undang-undang di jaman kini, sudah
eksis sejak dahulu kala. Salah satunya adalah Kalo Sara Hukum Adat di kerajaan
kuno, Kerajaan Padangguni.
Kerajaan Tertua di Indonesia
Kerajaan Padangguni merupakan kerajaan kecil di
wilayah Kendari, Sulawesi Tenggara. Rakyat kerajaan ini berasal dari suku
Tolaki kuno yang hingga hari ini masih eksis dengan tetap mempertahankan
tradisi kuno yang diwarisi secara turun-temurun dari nenek-moyang mereka.
Komunitas suku Tolaki kuno di jaman prasejarah masa lampau itu berkembang menjadi
sebuah kerajaan yang didirikan oleh Raja Larumbesi Tanggolowuta I pada abad
ke-2 Masehi. Dalam kitab Bunduwula disebutkan bahwa Kerajaan Padangguni dahulu
disebut Owuta Puasa yang berarti Tanah Pusaka atau Tanah Leluhur. Berdasarkan
tarikh masehi berdirinya kerjaaan ini, maka tidak heran jika banyak kalangan
meyakini bahwa Padangguni adalah Kerajaan Prasejarah Tertua di Indonesia, lebih
dahulu dibandingkan Kerajaan Kutai yang muncul pada abad ke-4.
Masyarakat suku Tolaki kuno di Kerajaan Padangguni
pada saat sebelum datangnya agama Hindu-Budha menganut kepercayaan Animisme,
Dinamisme, dan Totenisme. Kemudian pada awal abad XIV mereka beralih
kepercayaan menganut agama Hindu. Oleh karena itulah Lambang Dewa Shiwa
dipergunakan sebagai Lambang Kalo Sara hukum adat setempat untuk menyelesaikan
berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat. Bagi yang tidak tunduk dan
tidak mematuhi Kalo Sara hukum adat ini dipercaya akan mendapatkan kutukan.
Agama Hindu-Budha yang dianut masyarakat pada saat itu
tidak sama persis dengan agama Hindu yang berkembang di India. Hal ini karena
disesuaikan dengan kepercayaan masyarakat sehingga terjadi akulturasi dalam
wujud agama Hindu-Budha. Perkembangan kepercayaan masyarakat kerajaan
Padangguni nampak dari struktur pemerintahan sejak jaman Hindu s/d abad XIX.
Corak pemerintahan dipengaruhi oleh akulturasi Hindu-Buddha yang selanjutnya
berakulturasi lagi dengan kebudayaan Islam yang masuk dari kerajaan Goa-Tallo
di Sulawesi Selatan. Fenomena terakhir, pengangkatan raja Kerajaan Padangguni
yakni Raja Bunduwula XII yang diberi gelar Sultan dilakukan dengan pertimbangan
penyesuaian kebudayaan Islam. Dalam bahasa Tolaki, kerajaan dipimpin oleh
seorang Raja atau Mokole dan keturunannya yang disebut Anakia (laki-laki) dan
Anawai (perempuan), sedangkan kesultanan menurut terminologi bahasa Arab adalah
sama dengan kerajaan yang dipimpin oleh seorang Sultan.
Beberapa catatan sejarah dan bukti yang masih tersisa
berupa budaya dan peninggalan tertulis, diantaranya kitab-kitab yang berisikan
tentang perjalanan suku Tolaki, silsilah raja-raja, dan peristiwa-peristiwa
lainnya. Kitab Ilagaligo adalah kitab yang berasal dari kerajaan Goa-Tallo yang
menjelaskan tentang asal-usul Raja Bunduwula I. Kitab Taenango suku Tolaki kuno
yang memuat asal-usul kejadian manusia dan berisi nasehat-nasehat kehidupan,
dan riwayat perjalanan hidup suku Tolaki yang diceritakan dalam bentuk syair.
Kitab ini biasanya dibaca dengan cara dinyanyikan pada saat upacara keagamaan
dan upacara perkawinan. Kitab Bunduwula Sangia Wonua Sorume menjelaskan
asal-usul terbentuknya kerajaan Padangguni.
Kalo Sara Hukum Adat
Di bidang kebudayaan, terdapat budaya Kalo Sara Hukum
Adat yang menjadi pedoman bertingkah-laku anggota masyarakat Tolaki kuno hingga
generasinya saat ini. Barangsiapa yang tidak mematuhi hukum adat tersebut
dipercaya akan mendapatkan kutukan. Juga, dapat disaksikan pementasan sakral
budaya Tarian Ulo. Tarian ini bisanya digunakan untuk penyembahan pada dewa dan
leluhur dan orang tua atau raja yang sudah meninggal. Selain itu, masyarakat
Tolaki di kerajaan Padangguni yang masih tradisional itu menguasai ilmu
meteorologi dan geofisika (Matanggawe), perhitungan waktu (Bilangari), dan seni
bangunan.
Dalam kitab Bunduwula dan kitab Taenango menjelaskan
struktur organisasi pemerintahan kerajaan Padangguni sebagai pusat kerajaan.
Kerajaan Padangguni membawahi daerah-daerah yang diperintah oleh seorang Mokole
atau Raja, Inowa, Inowa Owa, Wonua, Napo dan Kambo. Daerah-daerah tersebut
menjadi anggota persekutuan pemerintahan kerajaan Padangguni yang umumnya masih
kerabat atau keluarga dekat Raja Bunduwula yang memerintah dalam wilayah/daerah
secara otonom. Raja Bunduwula memerintah atas nama daerah-daerah itu dengan
Mokole-mokole/Raja, Inowa, Inowa owa. Apabila Raja Padangguni bertindak keluar,
ia merupakan wakil rakyat yang berkuasa penuh, sedangkan jika bertindak kedalam
ia merupakan lambang nenek-moyang yang didewakan.
Pewaris Mokole Bunduwula
Sumber informasi sejarah kerajaan Padangguni menurut
catatan dalam kitab Ilagaligo, Kitab filsafat Taenago dan Kitab Bunduwula,
ternyata tidak ada catatan peralihan Dinasti Raja Larumbesi Tanggolowuta I di
abad ke-2 Masehi ke Dinasti Mokole Bunduwula I abad ke-16, Sangia Wonua Sorume
Mokole Padangguni Inea Sinumo Wuta Mbinosito (Daerah Istimewa) Totongano Wonua
(Raja Pusat Negeri) Lembui Lenggobaho (Sulawesi Tenggara) tahun 1574-1649.
Pemerintahannya dilanjutkan oleh Raja Bunduwula II yang bernama Welimondi
(1649-1715) dengan Gelar Anawai Ndo Padangguni II (ratu). Berturut-turut
selanjutnya adalah Raja Padangguni III bernama Maranai (1715-1745) dengan Gelar
Mokole Bunduwula III Inea Sinumo Wutoa Mbinotiso. Raja Padangguni IV bernama
Wesande dengan Gelar Anawai Ndo Padangguni IV Inea Sinumo Wuta Mbinotiso
Bunduwula IV (1745-1775). Raja Padangguni V bernama Dahoro dengan Gelar
Bunduwula V Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1775-1815). Kemudian Raja Padangguni VI
bernama LAO dengan Gelar Mokole Bunduwula VI Inea Sinumo Wuta Mbinotiso
(1815-1845). Raja Padangguni VII bernama Danda yang diberi Gelar Mokole
Bunduwula VII Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1845-1875). Raja Padangguni VIII
bernama Labandonga dengan Gelar Mokole Bunduwula VIII Inea Sinumo Wuta
Mbinotiso (1845-1905), Raja Padangguni IX bernama Sandima dengan Gelar
Mokole Bunduwula IX Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1905-1935). Raja Padangguni X
bernama Beangga dengan Gelar Mokole Bunduwula X Inea Sinumo Wuta Mbinotiso
(1935-1959). Selanjutnya Raja Padangguni XI bernama Tariambo anak dari Raja
Sandima dengan Gelar Mokole Bunduwula XI Inea Sinumo Wuta Mbinotiso
(1959-1978).
Kekacauan yang terjadi akibat pemberotakan DI/Permesta
beberapa dekade silam telah mempengaruhi proses peralihan kepemimpinan di
Kerajaan Padangguni. Bahkan, istana kerajaan telah musnah dibakar oleh
gerombolan pengacau keamanan karena pihak kerajaan teguh berpihak kepada
Pemerintahan RI. Namun, sejarah belum usai. Pemegang tampuk kepemimpinan
terakhir Kerajaan Padangguni, Raja Padangguni XI, Mokole Tariambo kemudian
menitipkan Mahkota Kerajaan Padangguni kepada keponakannya Bunduwula Yusuf
dengan amanat agar kelak diserahkan kepada Putra Mahkota Kerajaan Padangguni
yaitu Abdul Aziz Riambo. Penobatan Abdul Azis Riambo dengan Gelar Sultan Anakia
Mokole Bunduwula XII Inea Sinumo Wuta Mbinotiso telah dilangsungkan di hadapan
masyarakat adat Tolaki Kerajaan Padangguni pada tanggal 20 Juni 2001. Raja
Bunduwula XII, tugas sejarah telah diletakkan di pundak Paduka. Masyarakat adat
di Kerajaan Padangguni menanti sabda dan titah Baginda Raja. (WL)
Keterangan foto: Anakia Mokole Bunduwula XII bersama adik perempuan satu-satunya.
Keterangan foto: Anakia Mokole Bunduwula XII bersama adik perempuan satu-satunya.